Recents in Beach

Kenapa Kami Tinggalkan Papua?

Kenapa Kami Tinggalkan Papua?

Kenapa Kami Tinggalkan Papua? - Banyak yang bertanya dan baru hari ini rasanya saya baru bisa menceritakan kenapa saya tinggalkan Papua. Meski rasanya berat dengan melewati berbagai pergumulan dan perdebatan panjang dalam hati, saya dan istri saya serta anak-anak, terpaksa harus meninggalkan Papua tepat dua tahun yang lalu. 

Semua bermula ketika kasus "Wamena berdarah" tahun 2019 silam. Dimana kasus itu mengakibatkan banyak orang, termasuk pendatang, banyak terbunuh dan 'dibantai'.

Walau tempat pengabdian saya dan istri saya, terbilang jauh dari Wamena, yakni Indawa, tapi berita pembunuhan itu santer terdengar hingga pelosok-posok dan pedalaman Papua, termasuk tempat kami. Jarak dari Wamena ke Indawa 3 jam perjalanan jalur darat. 

'Pak guru.. Pak guru' teriak Kepala Distrik (baca : camat) dari luar rumah kami sambil mengetuk pintu rumah kami. 

"Kenapa Bapak" jawabku dengan perasaan gugup. 

Karena jujur saja, berita pembunuhan itu membuat kami guru (pendatang) trauma setengah mati. Hingga menutup rumah rapat-rapat sambil parang dan kayu kami letak dekat kami sebagai wanti-wanti bilamana terjadi sesuatu yang tak diharapkan, walau kami yakin masyarakat asli sekitar tempat kami sangat sayang dan menjaga kami betul. 

Karena beredar info, kasus pembantaian itu terjadi antara Orang Asli dan pendatang. Dan kalau boleh jujur juga, baru kali itu rasanya, was-was dan ketakutan kurasakan selama saya berada di pedalaman. 

"Pak guru deng ibung guru semua pindah ke kami pu rumah saja dlu"

"Kenapa  bapak? " jawab kami penasaran

'Ada siswa dari Indawa ini yang meninggal kena tembak di Wamena dan meninggal, Pak Guru, jadi dong pu om dan keluarga disini marah-marah dan mau cari pendatang' ujar Kapala Distrik kami. 

Seketika rasa takut kami semakin besar. Detak jantung semakin menjadi-jadi. Ditambah anak saya kedua, masih berumur lima bulanan, Christian- membuat saya dan istri saya semakin takut. Belum lagi, ada beberapa masyarakat asli disekitar rumah kami berjaga sambil memegang parang dan panah seperti akan terjadi perang besar. 

Singkat cerita, mengantisipasi hal2 yang tak diinginkan, kami pun dievakuasi dari Indawa menuju Wamena dengan menggunakan mobil baracuda milik anggota Brimob yang ada di Indawa dengan pengawalan ketat. Ada tiga mobil waktu itu. Sepanjang jalan terasa sepi. Tak satu  pun alat transportasi lewat kala itu. Percakapan di dalam mobil sepanjang perjalanan jg tak lg biasanya. 

Namun, di beberapa ruas jalan ketika mau sampai Wamena, berdiri beberapa masyarakat asli dengan alat perang mereka masing-masing. Jalan jg banyak yang dipalang, namun karena melihat anggota Brimob, palang jalan pun dibuka. Kami pun sampai di Wamena, dan langsung menuju tempat pengungsian di Kodim Wamena. Orang berjibun di tenda2 yang sudah didirikan. 

Seminggu kami di Wamena menunggu ketidakpastian dan diselimuti ketakutan, situasi malah semakin mencekam. Kami khususnya laki-laki pendatang harus berjaga dan melakukan ronda dari malam hingga pagi hari, karena beredar info akan ada serangan balasan yang semakin mempersuram situasi. Pagi lah baru kami bisa tidur pulas. 

Mendengar info yang semakin simpang siur, dan membuat horor, saya dan istri serta teman2 lain, nekat untuk meninggalkan Wamena dan menuju Jayapura. Rupanya seminggu lebih berjuang mencari tiket, baik pesawat komersil, maupun Hercules,tak juga menemukan tiket. Semua ludes, bahkan orang sudah puluh ribuan yg antri untuk mendapatkan tiket pesawat.

Proses pencarian tiket juga semakin susah karena jaringan internet seluler juga turut dilumpuhkan pada saat itu. Untung masih ada Wifi milik saudara, tempat dimana kami tinggal kala itu. Namun, lagi-lagi, tiket pesawat tak kunjung dapat dari aplikasi Traveloka karena semua sudah full bahkan hingga tiga minggu kedepan. 

Selain karena maskapai yang berkurang terbang menuju Wamena karena mendengar kasus itu, juga disebabkan banyak orang yang berduit tebal langsung membooking satu pesawat untuk dipakai bersama keluarganya menyelamatkan diri ke Jayapura. Walau harus merogoh banyak uang untuk membayar tiket  agar bisa keluar dari Wamena pada saat itu. 😥

Disitulah baru kusadari bahwa percuma uang tebal dan banyak tapi nyawa kita setipis sangge-sangge. 😢 Uang ternyata bukan segala-galanya. Yang paling penting keselamatan, kenyamanan dan keamanan serta keluarga. Keluarga menjadi harta terbesar yg tak bisa dibeli dengan apapun. 

'Aku gak mau mati konyol di Wamena ini' ujar Pak Guru Erfin saat itu, ketika kami sedang berusaha dan berunding mencari tiket untuk meninggalkan Wamena secepat mungkin. 

'Lalu gimana? "tanyaku.

'Ada kawanku yang punya kenalan di Bandara. Bisa diusahakan tiket tapi mahal Lang'  jawabnya. 

'Berapapun jadilah, yang penting sampe di Jayapura dlu. Tanya dan bilang lagi lah'  

'Tunggu kutanya lagi ya Tulang'  ujar Pak Guru Erfin. 

Karena, lagi-lagi desas-desus tentang serangan balasan akan segera datang. Ditambah lg setelah salah seorang yang sudah sepuh di Wamena kalau itu bercerita tentang bagaimana dulu ketika kasus 'Wamena berdarah' yang pertama. Tahun 2000 kalau tidak salah. Ada serangan balasan ke pendatang tanpa sepengetahuan dan bahkan tanpa persiapan sehingga korban banyak berjatuhan kala itu. 

'Lebih sadis dari yang sekarang' ujarnya. 

'Di Pasar Sinakma, pernah ada orang pendatang yang dibunuh, pas lagi berbadan pula itu' tambahnya, membuat suasana semakin horor. 

Banyak yang diceritakan beliau, tapi rasanya tak cukup sehari untuk menuliskannya, dan lagian agak horor, sadis dan mengerikan 😱 serta tak lulus sensor. Orang yang su lama di Wamena pasti tahu persis ceritanya. Atau bahkan orang yg su pernah ke Wamena jg paham dengan situasi Wamena berdarah yang pertama dulu. 

Besoknya lagi, ketika kami pas sarapan, tiba2 terdengar lagi kabar kalau ada pendatang dibunuh (ditikam) di Jalan Irian, Wamena. Suasana semakin riuh. Kalut dan seperti kehilangan harapan. Saya hanya bisa memeluk Melani saat itu sembari berdoa agar kami secepatnya keluar dari Wamena dan mendapatkan tiket sesegera mungkin. Istri saya juga sedang menggendong Christian yang masih berumur lima bulan.

Puji Tuhan, akhirnya kami pun bertemu dengan 'orang dalam' di Bandara , dan tiba2 saya shock karena katanya hanya ada satu saja seat yang kosong dan berangkat jam 1 siang. 

'Dua seat gak ada kaka. Berapapun kubayar' tanyaku memelas. Karena dalam pikiranku, Melani, Christian dan istri saya, biar mereka yang duluan selamat dan sampai ke Jayapura, kalau saya bisanya nanti,' aku bergumam dalam hati. 

'Gak ada lagi' jawabnya. 

Tanpa pikir panjang, akhirnya yang satu kursi itupun kami dealkan. Istri saya dan Christian pun terbang menuju Jayapura. Sedangkan saya dan Melani masih harus tinggal di Wamena untuk menunggu dan mencari tiket lg. Mendengar dan mengetahui itu, keluarga di kampung sontak panik dan berulang menelepon keberadaan dan kondisi kami. 

Tapi tak sampe seminggu, kami pun jg dapat pesawat hercules bantuan dari pemerintah dan berhasil keluar Wamena dan sampai di Jayapura walau harus rela antri dan berdesak-desakan di dalam pesawat. Kami pun segera menuju ke rumah keluarga dimana istri saya sudah duluan disitu. 

Di Jayapura kemudian kami rasakan gimana solidnya kekeluargaan orang Batak. Ada yang kasih pakaian, ada yang kasih 'sipirnitondi', ada yang kasih tempat tinggal sementara bahkan ada juga yang kasih materi. 

Seminggu kurang lebih kami di Jayapura, menunggu situasi Wamena bisa segera pulih dan kondusif, rupanya tak kunjung membaik. Akhirnya kami putuskan pulang ke kampung dan naik Hercules yg disarankan oleh ito Nababan hingga Jakarta. 

Sesuatu penerbangan yang sangat WOW😮 dengan lama perjalanan yang sangat panjang dan lama. Dan kami pun tiba di Jakarta dengan selamat. 

Kendati begitu, prinsip kami yang penting bisa terhindar dulu dari konflik dan perang, serta bisa mengobati trauma yang sempat membekas. 

Sampai di Jakarta, Bandara Halim, kami pun disambut dengan haru dan penuh sukacita. Kami disambut bagai pahlawan. Dan disitu pula menjadi titik terakhir kami berpisah dengan rombongan pengungsi menuju kampung halaman masing2. 

Dengan kerempongan saya dan istri kala itu, tiba2 ada seorang lelaki di pintu keluar bandara dengan menggunakan handycamnya datang menemui kami. Saya pun tak tahu kalau dia jurnalis Kompas. Lalu diai menanyakan seputar alasan kenapa mengungsi dan apa sesungguhnya yg terjadi. 

Saya bahkan tahu kalau saya masuk tivi waktu itu. Saya tahu setelah dikirim foto oleh Pak Christian Sohilait, lewat messenger di facebook besok harinya. Beliau adalah Sekda di Kabupaten Lanny Jaya pada waktu itu. Setelah sesi wawancara, lalu, kami berhenti sejenak untuk memesan grab menuju hotel yang sudah kami booking sebelumnya. Kami pun menuju hotel sebelum melanjutkan perjalanan kami ke Sumba Timur, kampung istri saya. 

Dua hari kami di Jakarta, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Sumba Timur, Waingapu. Disana kami sebulan lebih untuk mengobati trauma sekaligus melepas rindu dengan keluarga disana. Rupanya, berita2 pembacokan dan pembunuhan masih saja terjadi di Wamena selama kami di Sumba. 

"Kita ke Medan saja lg" ujar istriku

"Tapi gimana, padahal Dinas Pendidikan Lanny Jaya su suruh balik lg melaksanakan tugas' jawabku. 

Memang pada saat itu, setelah kejadian Wamena berdarah itu, hampir semua guru mengungsi. Ada yang bertahan di Wamena, ada yg ke Jayapura, namun ada juga yg langsng pulang kampung. Akhirnya, hampir semua sekolah lumpuh. Pembelajaran tak berjalan dengan baik. Padahal kondisi pun 'katanya' sudh semakin membaik. Dan waktu untuk belajar pun masih lama sebelum tiba libur semester. 

Tak bisa dinafikkan memang, guru2 di Pegunungan Tengah Papua hampir diisi oleh guru pendatang, baik guru kontrak maupun yg sudah PNS. Dan kalau boleh jujur, guru2 pendatang itu pula yg selalu setia di tempat tugas masa kami. Gak tahu kalau sekarang. 

'Biar saja, kita pun gak tahu nanti kondisi nya gimana? Kita su tahu kondisi disana toh, sebentar saja kondusif, sebentar lg bisa saja baku perang lg' kata istriku memberi penjelasan. 

Kami pun sepakat untuk mencari tiket ke Silangit menuju kampung halaman saya. Konsekuensi dari Dinas, kami bahkan sudah pasrah. Sekali lg, hanya keselamatan dan keamanan yg menjadi prioritas utama kami, apalagi keamanan anak2 kami saat itu. 

Singkat cerita kami pun sampai di kampung. Disambut dengan penuh haru dan sukacita. Dibuat 'boras sipirnitondi' karena sudah lepas dari marabahaya. 

Rupanya, pas kami di kampung, pelamaran CPNS dibuka. Awalnya saya dan istri tak terlalu berminat. Karena jujur saja, meski Papua selalu diwarnai dengan konflik dan perang, tapi entah kenapa hati kami sudah tertaut disana. Hati kami su tatinggal di gunung2, di lembah2 di Papua (kayak lagu itu 🤣🤣) Tp karena desakan dan nasihat dari orang tua saya dan keluarga, dengan berbagai pertimbangan, kami pun mendaftar. 

'Coba ja amang mendaftar CPNS. Manatahu dikampung ini rejeki kalian. Lagian disana perang terus' ujar mamakku memberi nasihat. 

'Gak usah lah mak. Di Papua saja kami' jawabku. 

'Ya, kami tahu kalian sudah lama disana tp kami keluarga di kampung malah yg selalu cemas setiap waktu. Gak kasihan lihat kami' ujar mamakkuh memelas. 

Tentu sebagai anak yang taat sama orang tua, nasihat ibukkuh pun kami laksanakan. Kabupaten Dairi menjadi daerah tujuan kami, karena jurusan kami berdua ada disana. Istrikuh yg duluan ujian, dan ternyata hasilnya tak lulus. Kami pun sempat berasumsi, kalau saya pun tak jg lulus, berarti memang Tuhan sudah mengatur hidup kami agar balik lg ke Papua. 

Rupanya lain. Saya malah lulus.Dan benar saja, doa seorang ibu itu selalu mujarab dan manjur. Ketika giliran saya ujian, saya pun LULUS bahkan menjadi peserta CPNS dengan nilai skor SKD tertinggi nomor 3 untuk seluruh Kabupaten Dairi dari 19rb an pelamar. Dairi bahkan menjadi Kabupaten dengan pelamar CPNS terbanyak se Indonesia. Dan saya menjadi skor tertinggi untuk sesi saya waktu itu. (Cek : https://www.google.com/.../hotman-simanjuntak-raih-nilai.../) 

Saya sempat tak percaya. Karena persiapan saya tak terlalu matang kala itu. Namun itulah takdir dan nasib serta rencana Tuhan, tak bisa kita lawan. Kita boleh berencana, namun Tuhan lah yang berkehendak. Keluarga pun turut senang mendengar kabar baik itu. 

'Berarti kalian direncanakan Tuhan harus di kampung ini' ujar kakaku. 

'Ya betul, lalu gimana dengan barang2 kalian yg di Papua' tanya mamakku

'Biar kami berangkat lg ke Papua ma, lagian saya ujian SKB masih lama. Ditambah saya juga lulus ujian CPNS di sana cuman belum pengumuman' jawabku. 

Memang kelulusanku di Dairi membuat saya semakin dilema. Karena saya sebetulnya jg sudah lulus CPNS di Lanny Jaya namun tak ada pengumuman dan kejelasan. 

Panjang cerita, kami pun balik lg ke Lanny Jaya sembari menunggu waktu ujian Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) di Dairi tiba. Melani pun kami tinggalkan bersama opungnya. Pagi2 buta kami pun berangkat dengan berlinang air mata karena terpaksa harus meninggalkan Melani. Melani masih tidur pulas waktu itu. Kami mencium keningnya lalu pergi berangkat menuju bandara. 

Rupanya sampai di Papua, Covid-19 pun melanda. Lockdown mulai diberlakukan. Rencana untuk balik ujian pun tertunda. Rupanya BKN membuat kebijakan agar ujian SKBnya dilakukan di BKN regional tempat kita berada saat itu. Saya pun ujian di BKN Jayapura. Dan dinyatakan LULUS. 

Kelulusan itu tak lantas membuat saya senang. Karena hati saya malah semakin berkecamuk antara memilih Dairi atau Lanny Jaya. Dengan melewati berbagai pergumulan, doa puasa yang panjang, meminta nasihat dari berbagai rekan2 dan keluarga, serta pertimbangan kesehatan, keamanan dan masa depan anak-anak kami, akhirnya Dairi menjadi keputusan kami yang terakhir. 

Pelajaran yang saya petik dari pengalaman saya ini adalah bahwa kita boleh saja berencana apa, tapi sekali lagi Tuhan juga yang memutuskan. Saya percaya kehadiran kami di Dairi sudah menjadi rencana yang terbaik dari Tuhan. Doa saya, semoga Papua semakin baik dan sejahtera dan kelak saya masih bisa menginjakkan kaki di Papua lg walau hanya sekedar melepas rindu. Atau barangkali mungkin saja anak saya yg kelak akan bekerja lg disana

Sekali lagi kami mohon maaf bila ada perlakukan kami selama di Papua yang menyakiti hati semua saudara disana. Mohon maaf atas semua khilaf dan salah kami. Kitorang semua bersaudara.

Posting Komentar

0 Komentar